Bermain ski saat
musim dingin di Hokkaido bersama teman-teman sekelas, kupikir akan menjadi
liburan yang paling menyenangkan. Aku tidak pernah menyangka liburan itu akan
menjadi awal mimpi buruk yang tidak pernah kubayangkan.
Yoshio dan Miyako saling melempar
bola salju setelah puas meluncur. Aku yang awalnya tidak ingin bergabung dengan
mereka pun mulai membentuk bola salju setelah menerima lemparan bola salju
Miyako.
“Kalian datang kemari hanya untuk ini?” tanya Matsuda yang tiba-tiba
muncul bersama Tetsuyama.
“Tidak ada salahnya, kan?! Di Tokyo tidak ada salju.” Jawab Yoshio.
“Ya, benar. Aku juga jadi ingin ikut.” Kata Tetsuyama sambil melempar
bola salju ke arah Yoshio.
Aku baru melempar beberapa bola salju saat seorang
gadis yang seumuran denganku menghampiriku. Sepertinya dia siswi SMA lain yang
juga sedang berlibur. Wajahnya pucat.
“Semoga berhasil. Maaf.” Katanya sambil memberikan sebuah gelang
padaku dan segera berlari menjauh. Gelang dengan tali berwarna merah yang
dihiasi beberapa bola kristal di bagian atasnya itu cukup menarik perhatianku. Gelang
dari gadis yang tidak kukenal itu kukenakan dan kuanggap sebagai oleh-oleh
gratis dari Hokkaido.
Seorang wanita berkimono biru duduk termenung. Ia menoleh dengan wajah ketakutan. Rambut panjangnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya. Ada bercak darah pada tatami di sekitarnya. Ia menangis. Darah mengalir dari bibirnya. Ia menjerit ketakutan saat seseorang wanita mendekatinya. Cahaya yang menyilaukan menghalangi pandangan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Wanita berkimono biru itu terbaring di tepi sungai. Seseorang membalikkan tubuhnya. Kimononya dipenuhi darah. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya tapi tak dapat menutupi tatapan matanya yang dipenuhi kebencian. Cahaya yang menyilaukan kembali muncul. Wanita berkimono biru. Matanya terlihat merah dipenuhi kebencian dan kimononya dipenuhi darah. Ia menyerang dengan kuku tajamnya. Terdengar suara jeritan. Aku terbangun dari mimpiku.
Aku menceritakan mimpiku pada
Yoshio dan Miyako di sekolah. Mereka hanya memberi komentar seadanya. Sama
sekali tidak menenangkanku.
“Aku benar-benar merasa buruk.” Aku berusaha membuat mereka mengerti
apa yang kurasakan.
“Aku juga pernah mengalami mimpi buruk. Memang terasa sangat buruk.
Tapi besok juga perasaan tidak enak itu akan hilang.” Miyako tersenyum.
Aku baru mulai merasa lega saat melihat lengan wanita berkimono biru
di dekat bahu Yoshio.
“Hoshie, ada apa? Wajahmu pucat.” Kata Yoshio panik melihat ekspresiku
yang kaget.
Aku tidak dapat berkata apa-apa.
Mimpi tentang wanita berkimono
biru kembali terulang. Sebelum sempat terbangun, aku melihat Yoshio. Ia
menjerit ketakutan. Aku terjaga sepanjang malam. Perasaanku benar-benar tidak
enak tentang mimpi itu.
Yoshio tidak masuk sekolah.
Miyako bilang ia terjatuh dari tangga apartemennya. Berita itu benar-benar
membuatku kaget. Aku terdiam dengan wajah pucat.
“Ada apa, Hoshie?” tanya Matsuda yang mulai khawatir.
“Mimpi buruk. Aku bermimpi buruk tentang Yoshio.” Jelasku pada teman
sejak kecilku itu.
Matsuda juga tidak menanggapiku dengan serius.
Aku kembali
memimpikan wanita berkimono biru. Ia mengikuti Miyako. Aku meminta Miyako
berhati-hati karena mimpi itu terus terulang. Membuatku benar-benar takut.
Miyako dan Matsuda menenangkanku dengan mengatakan tidak akan terjadi apa-apa.
Miyako dan Matsuda mengajakku
menjenguk Yoshio. Ia terlihat agak pucat tapi masih dapat tersenyum dan
bercanda seperti biasa. Hawa dingin yang tidak menyenangkan menyelimutiku saat
wanita berkimono biru merangkul Miyako sambil menatapku dengan tatapan
mengerikan.
“Hoshie. Hoshie!”Matsuda dan Yoshio menyadarkanku yang duduk terpaku
menatap Miyako dengan wajah pucat. Aku berusaha tersenyum agar mereka tidak
khawatir. Aku melihat rambut wanita berkimono biru yang terjatuh di bahu
Miyako.
Miyako tidak masuk sekolah. Ia
tenggelam saat latihan dengan klub renang malam sebelumnya. Mereka bilang
mungkin kakinya kram. Ia belum sadar.
“Matsuda, wanita berkimono biru itu. Aku melihatnya di dekat Yoshio siang
hari sebelum Yoshio jatuh dari tangga. Dan kemarin malam aku meihatnya
merangkul Miyako sambil menatapku dengan tatapan mengerikan.” Jelasku.
“Tenanglah, Hoshie.” Matsuda menepuk pundakku pelan. Tapi itu tetap
tidak membuatku merasa tenang.
Mimpi burukku kembali terulang.
Wanita berkimono biru tampak berbeda. Ia terlihat cantik dalam dandanan khas
geisha tapi tetap dengan kimono birunya. Ia menari dengan indah. Pemandangan
segera beralih ke seorang wanita cantik. Terlihat seperti seorang wanita
terhormat. Wanita berkimono biru masuk ke dalam ruangan. Pelayan segera
mengelilinginya. Cahaya menyilaukan kembali menutupi pandangan. Mereka menyeret
sesuatu. Ada bercak darah. Matsuda, wajahnya tampak ketakutan. Wanita berkimono
biru, wajahnya terlihat begitu dekat dan mengerikan.
Aku terjaga selama beberapa
malam. Kantung mata mulai terlihat di bawah mataku. Wajahku juga semakin pucat.
“Semua ini semakin megganggu. Semua bertambah buruk. Aku melihatmu
dalam mimpi.” Kataku lesu pada Matsuda.
Matsuda tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam menatapku. Ia merangkulku.
Matsuda menemaniku pulang. Ia
khawatir pada kondisi fisikku. Aku menghargai itu. Ia berusaha membuatku
kembali bersemangat. Aku berusaha tersenyum. Senyum itu segera memudar saat aku
melihat wanita berkimono biru berdiri di
belakang Matsuda. Matsuda menatapku heran sambil terus berjalan. Lampu tanda
pejalan kaki berubah merah. Matsuda tidak melihatnya. Ia terus berjalan sambil
menatap ke arahku. Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang terdiam kaku, menarik
tangan Matsuda. Aku tidak ingin hal terburuk terjadi pada Matsuda.
Aku lelah. Bukan hanya dalam
mimpi, ia mulai mengganggu saat aku terjaga. Aku menemukan rambut panjang yang
rontok di bantalku padahal rambutku hanya sebatas bahu. Aku melihatnya di depan
kelas, aku melihatnya di seberang jalan, ia bahkan terlihat di dekat orang
tuaku. Semakin lama semakin dekat. Terkadang aku merasa ia berdiri di
belakangku. Aku juga menemukan bercak darah pada beberapa baju yang belum
kupakai.
Aku memutuskan untuk berdoa di
kuil. Aku menutup mataku dan melihat kejadian yang tidak kulihat dalam mimpi.
Wanita berkimono biru disisa sekelompok pelayan. Pelayan-pelayan itu
menyeretnya setelah ia tidak berdaya. Mereka membawanya ke pinggir tebing.
Wanita terhormat yang kulihat sebelumnya, ia melepas gelang yang dipakainya,
melemparnya ke wajah wanita berkimono biru dan memerintahkan para pelayannya
untuk melempar wanita berkimono biru bersama gelang itu dari atas tebing.
Wanita berkimono biru menggenggam erat gelang itu sebelum jatuh ke tepi sungai
di bawah tebing.
Dendam wanita berkimono biru
tersimpan dalam gelang yang kupakai. Gelang yang menyimpan kenangan buruk
tentang si pemilik. Aku ingin mengakhirinya. Aku melepas gelang itu dan
menguburnya di dekat kuil dengan harapan tidak akan ada
Kukira semua sudah berakhir
karena ia tidak menghantuiku lagi. Tiga bulan sudah berlalu sejak saat aku
mengubur gelang itu. Aku pergi ke Shibuya bersama Yoshio, Miyako, dan Matsuda.
aku melihat seorang gadis memberikan gelang bertali merah dengan bola kristal
di bagian atasnya pada gadis lain. Wajahnya tampak pucat.
“Maaf, semoga beruntung.” Katanya sambil berlari menjauh.
End
(Linoire)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Komentar Anda akan menjadi penghargaan besar untuk kami.
Thanks for your visit. Your comment will be a great aprreciation for us.