Eleonore menatap ke arah kursi tua di sudut ruang keluarga. Posisi
perabotan masih sama seperti saat ditinggalkan sepuluh tahun lalu. Sofa yang
biasa ia kuasai sendiri juga masih ada di sisi timur ruangan. Eleonore
mendekati kursi tua di sudut ruangan. Ia membuka kain penutup kursi itu.
Walaupun sudah cukup lama ditinggalka, kursi kayu itu masih terlihat bagus.
Eleonore tersenyum. Ia masih dapat membayangkan saat-saat Nenek Marion duduk
santai di kursi itu.
Menuju dapur,
tidak ada yang berubah. Hanya perabotan yang dulu bersih sekarang tertutup
debu. Eleonore masih ingat, saat masih kecil
ia terjatuh di dekat pintu masuk dapur. Ibu malah memarahinya karena
sebelumnya sudah diperingatkan agar tidak berlari. Tangis Eleonore bertambah
keras. Nenek Marion lalu membawanya ke taman agar tidak menangis lagi.
Eleonore
melangkah menuju halaman belakang. Ia tersenyum membayangkan kenangannya
bersama Nenek Marion saat merawat kebun bunga kecil mereka. Eleonore kecil
memang sangat dekat dengan Nenek Marion. Kebun bunga yang sering mereka rawat
bersama sekarang sudah tidak ada. Ia tertunduk sebentar.
Selesai
bernostalgia di halaman belakang, Eleonore berjalan menuju kamar Nenek Marion. Semua
perabotan juga masih ada pada tempatnya. Ia terdiam menatap tempat tidur Nenek
Marion. Bukan hanya kenangan manis, Eleonore juga masih mengingat saat ia
bersikap tidak baik pada Nenek Marion walaupun ia tahu Nenek Marion sangat
menyayanginya. Eleonore mulai memutar ulang kenangannya.
Cherry berbaring
di dekat kaki Eleonore. Ekornya bergoyang pelan saat Eleonore mengelus
kepalanya. Cherry menyalak saat mendengar suara bel sepeda mendekati rumah
majikannya.
“Kenapa
lama sekali? Aku sampai bosan menunggu.” Kata Eleonore sedikit kesal. Carin
baru turun dari sepedanya. Ia hanya tersenyum sementara Cherry masih terus
menyalak.
“Tapi
sudahlah. Ayo masuk. Ada game yang menunggu untuk dimainkan.” Eleonore
tersenyum. Carin memang selalu datang ke rumah Eleonore untuk bermain game
setiap akhir pekan
Nenek Marion menatap
serius ke arah Eleonore dan Carin. Eleonore dapat menghabiskan waktu seharian
bermain game. Nilai-nilainya juga menurun karena kebiasaannya.
“Jangan
bermain terus. Pikirkan juga pelajaranmu.” Kata Nenek Marion dengan wajah
serius. Eleonore tidak menghiraukan perkataan nenek.
“Masa
depanmu masih panjang. Jangan hanya terpaku pada kesenangan yang merusak.
Matamu juga perlu istirahat. Berteman dengan orang yang baik akan membawamu ke
arah yang baik dan sebaliknya, berteman dengan orang yang buruk akan membawamu
ke arah yang buruk.” Sambung Nenek Marion. Eleonore mulai kehilangan
konsentrasi. Nenek Marion masih terus menasehatinya.
“Ini
urusanku. Nenek tidak perlu bicara terlalu banyak!” kata Eleonore dengan suara
meninggi. Nenek Marion hanya diam menatap Eleonore. Carin yang tampak kaget
juga menatap ke arah Eleonore.
Eleonore yang masih tampak kesal menggendong Cherry
menuju pintu depan. Carin segera menyusulnya. Ia hanya berdiri di samping
Elenore, tidak berani berkata apa-apa.
“Menyebalkan
sekali. Dan kesannya ia mengatakan kamu bukan teman yang baik. Jika sudah
menyelesaikan sekolah, aku ingin tinggal di Paris saja” Kata Eleonore dengan
nada kesal. Cherry yang ada dalam pelukan Eleonore tampak ketakutan.
“Sudahlah.
Lupakan saja.” Kata Carin berusaha menenangkan temannya tapi perkataan itu
tidak cukup membuat Eleonore tenang.
Pelajaran
berakhir. Edgar dan Carin mengajak Eleonore melihat latihan drama murid senior.
Mereka menghabiskan 2 jam di sekolah. Ketiganya berjalan pulang bersama sambil
bercanda. Eleonore tersenyum lebar. Ekspresi Eleonore segera berubah saat
melihat Nenek Marion menunggunya di depan pintu. Nenek Marion tersenyum lega
melihat kepulangan Eleonore. Cherry yang menemani Nenek Marion menggoyagkan
ekornya.
“Hari
ini lama sekali.”
“Nenek
tidak perlu menungguku. Aku sudah 15 tahun, bukan anak kecil lagi.” Eleonore
memotong perkataan Nenek Marion dan segera berjalan masuk. Edgar dan Carin
terdiam melihat kejadian itu. Nenek Marion tampak sedih. Cherry menjilati
tangan Nenek Marion pelan lalu berjalan masuk mengikuti Eleonore.
Nenek Marion
mulai terlihat lemas. Wajahnya pucat. Seiring pertambahan usia ia juga tidak
sekuat dulu lagi. Ia tetap menunggu Eleonore pulang setiap sorenya ditemani
Cherry walaupun Eleonore selalu terlihat tidak senang. Ia tetap tersenyum
walaupun Eleonore tidak menghiraukannya.
Eleonore berjalan
pulang sendirian. Edgar sakit dan Carin ada keperluan lain di tempat yang
berlawanan arah dengan rumah Eleonore. Tidak seperti biasa, Nenek Marion tidak
menunggu kepulangan Eleonore. Hanya ada Cherry yang menunggu di balik pintu. Ia
menyalak senang menyambut Eleonore. Ruang keluarga tampak sepi. Eleonore
berjalan ke ruang makan. Ia tidak berhasil menemukan ibunya dan Nenek Marion.
“Eleonore,
nenek sakit. Bisa bantu ibu mencuci sayuran?”
“Ya.”
jawab Eleonore singkat. Ia meletakkan tasnya di atas sofa lalu pergi ke dapur.
Kondisi Nenek
Marion terus menurun. Nenek Marion yang sebelumnya berjalan dengan bantuan
tongkat sama sekali tidak dapat bangkit dari tempat tidur. Ia tersenyum saat
Eleonore membawakan makanan untuknya. Nenek Marion ingin tetap dirawat di rumah
walaupun kondisinya terus menurun.
“Nenek
tidak mau makan.”Eleonore menjawab pertanyaan Edgar yang menanyakan keadaan
Nenek Marion.
Nenek Marion yang
terbaring sakit mulai kesulitan menggerakkan anggota tubuhnya. Ia juga mulai
jarang berbicara. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk tidur. Eleonore
menghampiri Nenek Marion. Ia memegang tangan Nenek Marion.
“Don’t
cry, dear. I’ll always love you.” Kata Nenek Marion yang menyadari Eleonore
duduk di sampingnya. Ia berusaha tersenyum di depan Eleonore. Nenek Marion
meninggal beberapa jam kemudian.
Cherry yang juga
selalu menunggu Eleonore di balik pintu masuk mati karena sakit 2 tahun
kemudian. Carin yang selalu bermain game dengan Eleonore mulai menjauh dari
Eleonore setelah ia mendapatkan teman yang baru. Keluarga Fradeux pindah dari
Kota Cannes beberapa bulan setelah kepergian Nenek Marion. Seperti keinginan
Eleonore, mereka pindah ke Kota Paris. Beberapa perabotan mereka tinggalkan di
Cannes karena sulit dibawa.
Sama seperti saat
terakhir bersama Nenek Marion, mata Eleonore tampak berkaca saat menatap ke
arah tempat tidur Nenek Marion.
“I
know you care about me. I know you love me. If I can meet you once again, I
want to say I’m sorry, I miss you and I love you too, Granma.” Eleonore meraih
foto Nenek Marion yang terpajang di meja di sebelah tempat tidur Nenek Marion.
Ponsel Eleonore
berbunyi. Eleonore meletakkan kembali foto Nenek Marion di atas meja.
“Ya.
Urusanku sudah selesai. Kamu bisa menjemputku sekarang, Edgar.” Jawab Eleonore.
Setelah
berteman cukup lama, Eleonore dan Edgar menjadi sepasang kekasih. Edgar sekeluarga
juga pindah ke Kota Paris setahun setelah kepindahan keluarga Fradeux.
Eleonore berjalan
keluar dari rumah yang penuh kenangan itu. Ia memang datang ke Cannes Setiap
tahun tapi tidak pernah datang melihat rumah itu. Ia merasa senang dapat datang
ke rumah itu lagi. Edgar menunggu di
depan rumah.
“Setelah
ini kita masih harus mengunjungi makam Nenek Marion.” kata Edgar sambil
tersenyum. Eleonore dan Edgar berjalan pergi sambil sesekali menoleh ke arah
rumah keluarga Fradeux, berharap dapat melihat bayangan Nenek Marion sekali
lagi.
End
(Linoire)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Komentar Anda akan menjadi penghargaan besar untuk kami.
Thanks for your visit. Your comment will be a great aprreciation for us.